Penentuan awal bulan Ramadhan sesungguhnya tidak beda dalam penentuan bulan-bulan lain dalam kalender Hijriyah. Namun demikian, penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal selalu menyita perhatian umat Islam. Karena, dalam kedua bulan tersebut terdapat amaliah sangat istimewa bagi umat Islam, yaitu puasa wajib selama 1 bulan penuh dan awal bulan Syawal yaitu hari raya Idul Fitri.
Jamak diketahui masyarakat di Indonesia, ada dua metode menentukan awal bulan Ramdahan yaitu hisab dan rukyatul hilal. Metode astronomi (hisab) adalah metode penghitungan yang digunakan untuk mengetahui kapan awal masuk bulan dalam kalender Hijriah untuk membantu rukyat.
Sedangkan meode rukyatul hilal adalah penentuan awal bulan dengan penglihatan bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fi’li). Kesepakatan mayoritas ulama mdzhab (jumhurul madzahib) berpendapat bahwa pemerintah selaku ulil amri di bolehkan menjadikan rukyatul hilal sebagai dasar penetapan awal bulan Hijriyah khususnya bulan Ramdhan, Syawal dan Dzulhijah.
Rukyatul hilal di dasarkan pada hadist muttafaq alaihi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang berbunyi:
حدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)
Dalam hadist tersebut Rasulullah SAW menetapkan “melihat bulan” (لِرُؤْيَتِهِ) sebagai dasar penetapan ibadah puasa dan permulaan syawal atau idul fitri. Rasulullah juga memerintahkan untuk menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi (ثَلَاثِينَ) 30 hari jika tidak melihat bulan.
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ (رواه مسلم)
“Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw, bersabda, bilangan bulan itu adalah dua puluh sembilan hari, dan jika kalian telah melihat hilal, maka berpuasalah, dan bila kalian melihatnya (terbit) kembali, maka berbukalah. Namun, jika hilal itu tertutup dari pandangan kalian, maka hitunglah (bilangan harinya).” (HR. Muslim)
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ (رواه البخاري)
“Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Amru bahwa dia mendengar Ibnu ‘Umar ra, dari Nabi saw, bersabda: kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung, satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali waktu berjumlah dua puluh sembilan dan sekali waktu berjumlah tiga puluh hari.” (HR. Bukhari).
Dari hadist diatas Rasulullah SAW menjelaskan bahwa dalam kalender Qomariyah/Hijriyah jumlah bilangan hari hanya ada 29 atau 30 hari. Sedangkan pada kalender Syamsiah/Masehi jumlahnya 28 sampai 31 hari. Karena itu, disetiap tahun terjadi perbedaan bilangan hari antara kalender Hijriyah dan Masehi. Kalau HIjriyah kurang lebih berjumlah 355 hari, sedangkan Masehi berjumlah 365 hari.
Sidang Isbat
Cara pemerintah menentukan awal bulan Ramdahan, Syawal dan Zulhijjah adalah melalui Sidang Isbat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat artikan penetapan dan penentuan. Adapun sidang isbat adalah sidang yang dilakukan untuk menetapkan atau menentukan awal bulan dalam kalender Hijriyah.
Sidang Isbat diambil pemerintah sebagai sarana bertukar pandangan para ulama, cendikiawan dan para ahli terkait penetapan awal Ramdhan, Syawal dan Dzulhijjah. Kebijakan ini merujuk pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramdhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Ada empat hal yaang diatur dalam fatwa tersebut, Pertama, penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional. Kedua, seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah. Ketiga, dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan instansi terkait. Keempat, hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Dalam kontek penentuan awal bulan Hijriyah pemerintah mengambil jalan tengah dengan sidang Isbat. Sebagai upaya untuk menjembatani perbedan yang sering terjadi di tengah masyarakat. Isbat menjadikan metode perhitungan astronomi (hisab) dan metode melihat bulan (rukyatul hilal) sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan. (red: Badiul Hadi)