Oleh. Ning Hj. Mukarromah, S.Pdi., MM.
Siapa yang tidak risau mendengar kabar tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati di Arab Saudi belakangan ini. Beritanya ramai di media massa, yang membuat hati miris sekaligus terenyuh.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri RI, 20 orang TKI terancam hukuman mati di Arab Saudi. Dari 20 kasus tersebut, 15 kasus di antaranya kasus pembunuhan dan 5 kasus merupakan tuduhan melakukan sihir.
Selain kasus hukuman mati, banyak juga kasus-kasus lain yang menimpa TKI di luar negeri. Beberapa kasus itu menyebabkan TKI ditahan atau dalam proses penahanan.
Merujuk data Badan Nasional Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dalam tahun 2016 – 2017 secara umum kasus TKI meninggal di luar negeri sebanyak 126 kasus.
BNP2TKI merilis data per Juni 2017, sebanyak 202.622 warga Indonesia bekerja diluar negeri, banyak diantara mereka yang mengalami masalah. Ada 2.339 pengaduan di crisis center yang dikelompokkan ke dalam 26 permasalahan.
Pengaduan paling banyak terkait pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir, gaji tidak dibayar, dan TKI tidak dipulangkan. Pertanyaannya kemudian, akankah kita menginginkan itu terus terjadi pada TKI kita? Apa yang bisa dilakukan oleh negara?
Melihat kondisi di atas, masyarakat Indonesia berharap negara hadir dan menunjukkan keperpihakan kepada para pahlawan devisa yang sedang mengalami masalah. Negara diminta bertindak cepat, memberikan perlindungan hukum, dan melakukan diplomasi agar TKI yang bermasalah dibebaskan, serta bisa membawa kembali ke tanah air dalam keadaan selamat seperti saat mereka berangkat.
Tidak hanya itu, negara harus memperkuat sistem perlindungan WNI di luar negeri, kalau toh terjadi bisa diselesaikan melaui jalur diplomasi. Pemerintah perlu terus mengawasi pengiriman TKI ke luar negeri, dengan melakukan seleksi secara ketat perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang penyaluran TKI.
Jika perlu, pemerintah menindak tegas dan mencabut ijin perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang nakal. Di sisi lain, pemerintah harus melakukan upaya yang lebih serius dalam menciptakan lapangan pekerjaan di dalam negeri.
Saya tentu tidak bermaksud mengabaikan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam perlindungan terhadap WNI yang tinggal di luar negeri, khususnya yang menjadi TKI dan terjerat kasus hukum. Misal, kasus Masamah binti Raswa Sanusi yang bebas dari tuntutan hukuman mati di Arab Saudi, setelah mendapat perlindungan dari Negara. Perempuan asal kabupaten Cirebon ini didakwa membunuh anak majikannya yang berusia 11 bulan pada tahun 2009.
Pemerintah Indonesia dalam kasus TKI Masamah membantu jasa pengacara, penerjemah, pendampingan langsung, dan kunjungan rutin. Selain itu juga komunikasi dengan otoritas setempat, kunjungan konjen dan staf ke pihak keluarga di Cirebon, kunjungan keluarga ke Arab Saudi, serta pengiriman surat dari Presiden RI Joko Widodo kepada Raja Salman.
Berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2011-2018, terdapat 102 TKI yang awalnya divonis hukuman mati. Namun, sekitar 79 TKI telah berhasil dibebaskan oleh pemerintah Indonesia, yang dieksekusi ada 3 TKI dan akan dieksekusi 20 TKI.
Saya mencatat kasus hukuman mati ini bukan untuk yang pertama kali dan bukan hanya terjadi di Arab Saudi, tapi juga dialami oleh TKI di negara-negara lain seperti di Malaysia.
Dipandang Sebelah Mata
Dalam berbagai kesempatan sering diungkapkan bahwa TKI adalah pahlawan devisa. Namun, sebutan tersebut tak lantas membuat mereka terlepas dari berbagai macam permasalahan.
Seringkali mereka dipandang sebelah mata, bahkan di tempat kerjanya dilecehkan, diperlakukan tidak manusiawi bahkan menghadapi ancaman hukuman mati seperti saya ungkap diatas.
Di sisi lain, sumbangsih mereka tidak bisa dianggap enteng apalagi dipandang sebelah mata, bila ditinjau dari jumlah remitansi atau uang kiriman TKI dari luar negeri. Sebagai perbandingan, remitansi dari buruh migran lebih tinggi dari jumlah dana yang dikumpulkan pemerintah lewat program amnesti pajak.
Bank Indonesia mencatat total remitansi TKI pada 2015 mencapai Rp 119 triliun. Adapun pada tahun 2016 hingga Oktober jumlahnya mencapai US$7,47 miliar atau setara Rp 97,5 triliun.
Sementara itu, berdasarkan data Direktorat Pajak Kementrian Keuangan RI, nilai realisasi penerimaan uang tebusan amnesti pajak berdasarkan surat setoran pajak program per 25 Januari 2017 sebesar Rp. 110 triliun.
Pertimbangan Kemaslahatan
Dalam fikih dikenal kaidah tashorrufu al-imami ‘ala al-ra’yati manutun bil maslahah. “Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dilakukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.”
Kaidah dalam usul fiqih ini menegaskan dua hal sebagai prasyarat mencapai kesejahteraan, yaitu tashorruful imam (kebijakan pemimpin) dan al-maslahah (sesuatu yang mendatangkan kebaikan atau kesejahteraan).
Kemaslahatan menjadi titik tumpu seluruh kebijakan yang diambil oleh pemerintah, termasuk kebijakan tentang ketenagakerjaan. Kaidah fikih ini secara tegas menerangkan aspek horisontal, karena menyangkut hubungan antara pemimpin dengan masyarakat yang dipimpin.
Kaidah usul fiqih di atas juga sejalan dengan preambule Undang-Undang Dasar 1945 “……. membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….”
Nukilan dalam preambule tersebut menegaskan negara harus selalu hadir dalam setiap keadaan, melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Kesejahteraan merupakan tujuan negara dibentuk.
Karenanya, negara harus memberikan jaminan dengan seluruh kekayaan yang ada dan dimiliki negara dikelola sepenuhnya untuk pemenuhan kesejahteraan rakyat. Terutama terkait melindungi seluruh tumpah darah dan mewujudkan keadilan sosial.
Negara tidak boleh abai dengan kondisi TKI di luar negeri. Negara harus selalu hadir memantau kondisi TKI di luar negeri, memastikan mereka tidak mengalami masalah, menjaga mereka dari berbagai kasus yang menjerat terutama kasus hukum.
Pekerjaan dan penghasilan yang baik menjadi indikator kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat diartikan, kesejahteraan dapat dilihat pada kemampuan rakyat memenuhi kebutuhannya setiap hari.
Dewasa ini, masyarakat menghadapi masalah yang serius terutama terkait dengan ketenagakerjaan, baik itu menyangkut lapangan pekerjaan, upah dan kebijakan yang tidak berpihak pekrja/buruh lainnya, belum lagi mahalnya biaya hidup. Kondisi diatas mendorong masyarakat untuk memutar otak agar bisa menjaga dapur tetap mengepul.
Ironinya untuk semua itu, banyak masyarakat memilih jalan bekerja di luar negeri. Kalau sudah begini siapa yang harus bertanggungjawab? Pertanyaan ini perlu dicarikan solusi bersama .