Guru, Penyala Cahaya dari Huruf ke Kehidupan

Ada ungkapan Sayyidina Ali karramallahu wajhah tentang penghormatan kepada guru menjadi salah satu pesan moral paling kuat dalam tradisi keilmuan Islam:

قَالَ عَلِيٌّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ: أَنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِي حَرْفًا، إِنْ شَاءَ بَاعَ وَإِنْ شَاءَ اسْتَرَقَّ

Aku adalah hamba bagi orang yang mengajariku satu huruf. Jika ia mau, ia boleh menjualku; dan jika ia mau, ia boleh menahanku sebagai hamba.”

Ungkapan beliau bukan seruan literal untuk memperbudak diri, tetapi metafora tentang betapa berharganya ilmu dan betapa mulianya orang yang mengajarkannya meski hanya satu huruf.

Huruf yang Menyinari Jalan

Sayyidina Ali memilih kata huruf, bukan pelajaran apalagi kitab. Huruf adalah unsur paling kecil dalam ekosistem pengetahuan. Dengan menempatkan huruf pada posisi mulia, beliau ingin menekankan bahwa setiap pengetahuan, sekecil apa pun, layak dihormati.

Huruf pertama yang diajarkan seorang guru sering kali menjadi titik balik perjalanan kehidupan seseorang. Anak yang belajar mengeja, santri yang pertama mengenal huruf hijaiyah, atau mahasiswa yang pertama kali memahami konsep dasa semuanya berawal dari satu huruf yang membuka pintu menuju dunia yang lebih luas.

Guru merupakan penjaga pintu tersebut. Ia tidak hanya mengajarkan konten, tetapi menyalakan sebuah cahaya dalam diri muridnya. cahaya yang sering kali menjadi fondasi bagi masa depan mereka.

Adab Orang Berilmu

Ketika Sayyidina Ali menyebut dirinya hamba bagi orang yang mengajarinya, artinya kerendahan hati sebagai syarat ilmu. Orang yang sombong sulit menerima pengetahuan baru. Sebaliknya, orang yang siap merendahkan diri di hadapan ilmu akan mudah menyerap hikmah.

Apa yang disampaikan Sayyudina Ali sangat relevan dengan konteks ini, ketika pengetahuan mudah diakses tetapi adab terhadap ilmu dan guru mulai memudar. Banyak murid yang cerdas secara intelektual tetapi miskin penghormatan, sehingga kehilangan keberkahan ilmu.

Menghormati guru tidak berarti menelan semua pendapatnya tanpa kritik, tetapi menempatkannya sebagai orang yang berperan membentuk cara kita berpikir dan memahami dunia. Tanpa guru, ilmu hanyalah informasi tanpa arah.

Kerendahan hati juga berlaku bagi guru. ia terus belajar dari murid, pengalaman, dan perubahan zaman. Guru terbaik adalah ia yang tetap menjadi murid sepanjang hidupnya.

Guru Penjaga Peradaban

Pesan Sayyidina Ali juga merupakan pengingat sosial, bila satu huruf saja begitu bernilai, maka guru (yang menebar ribuan huruf) patut dihormati dan dijaga martabatnya.

Guru tidak hanya mengajarkan pelajaran, beliau-beliau membangun karakter, menanam nilai, dan menjaga keberlanjutan peradaban. Setiap keberhasilan besar dalam hidup manusia selalu mengandung jejak seorang guru yang pernah menyalakan cahaya bagi muridnya.

Di tengah dunia yang cepat dan sering melupakan akar, kita diajak kembali merenung: kehidupan kita berdiri di atas huruf-huruf yang dulu diajarkan oleh guru—baik guru di sekolah, guru di pesantren, maupun guru kehidupan.

Menghormati guru adalah cara kita menjaga cahaya ilmu tetap menyala, dari satu huruf, menjadi wawasan, menjadi perubahan.

Penulis: Badiul Hadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *