Tradisi Spiritual yang Menjaga Keselamatan
Setiap bulan Syafar, khususnya pada Rabu terakhir atau yang dikenal dengan istilah Rebowekasan, Pondok Pesantren Asshomadiyah memiliki tradisi yang telah diwariskan turun-temurun. Nyai Hj. Cici Mursidah Muqoffi, salah satu sesepuh pesantren, mengenang bagaimana almaghfurllah KH. Makky Syarbini – mertua beliau – selalu mempersiapkan amalan khusus pada hari itu.
Sejak pagi, beliau menyiapkan gentong berisi air yang telah ditulisi asmaan (ayat dan doa pilihan). Air tersebut kemudian diminum oleh keluarga, para santri, dan masyarakat sekitar sebagai bentuk tawassul dan ikhtiar memohon keselamatan. Malam harinya, para santri berkumpul di masjid untuk berdzikir bersama, memperbanyak doa dan permohonan perlindungan kepada Allah.
Lora Naim Wahid yang juga cicit KH. Makki Syarbini, manfaat akan “Dimen almarhum Aba Wahid e Dlembeh, tiap lagghu Rabu Wekasan, ngarep-ngarep nyiapagi aeng e bak sabek, neng adek eng masjid. Male e enom masyarakat Dlembeh pade kaanggo. Caepon aba, ngereng-enjuk Makki.
Almarhum Aba Wahid di Dlembeh, setiap malam Rabu Wekasan, selalu menyiapkan air di bak di taruh dekat masjid untuk diminum para masyarakat Dlembeh. Hal ini mengikuti jejak Mbah Makki.
Latar Historis Rebowekasan
Tradisi Rebowekasan hidup di banyak pesantren dan komunitas Muslim Jawa. Diyakini bahwa pada Rabu terakhir bulan Syafar terdapat turunnya bala’ (musibah) dalam jumlah besar. Keyakinan ini berkembang di masyarakat sebagai bentuk ihtiyar batin agar terhindar dari marabahaya.
Di Jawa, Rebowekasan sering dirayakan dengan slametan, doa bersama, hingga mandi safar di sungai atau sumur, yang dimaknai sebagai simbol pembersihan diri. Tradisi ini kemudian dilebur dengan ajaran Islam melalui pendekatan tawassulan, yakni menjadikan doa dan dzikir sebagai wasilah untuk memohon keselamatan dunia dan akhirat.
Dalam Al-Qur’an maupun Hadits shahih, tidak ada dalil khusus yang menjelaskan tentang keistimewaan atau kesialan hari Rabu terakhir bulan Syafar.
Kepercayaan bahwa hari Rabu terakhir Syafar adalah hari bala’ tidak berasal dari Nabi SAW, dan tidak ada hadis sahih yang menjelaskannya.
Imam As-Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawi menyebut bahwa keyakinan tentang turunnya bala pada hari Rabu terakhir bulan Syafar tidak ada sandaran shahih dari Nabi SAW. Namun, beliau menyusun doa untuk meminta perlindungan dari bala secara umu
Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan bahwa penentuan bala khusus pada hari tertentu tidak ada dalilnya. Akan tetapi, berdoa meminta perlindungan dari Allah di setiap waktu adalah sunnah dan dianjurkan.
Dalam kitab Fathul Malik Al-Majid atau disebut dengan kitab Mujarrobat ad-Dairobi dan juga kitab Al-Jawahir Al-Khams karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah as-Sittin, dan sebagainya, menyarankan umat Islam untuk shalat dan berdoa memohon agar dihindarkan dari bala’ hingg penyakit.
Tata-cara yang dianjurkan adalah shalat 4 rakaat; setiap satu rakaat membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq dan An-Nas 1 kali. Kemudian setelah salam membaca doa khusus yang dibaca sebanyak 3 kali. Waktunya dilakukan pada pagi hari (waktu dhuha).
Penjaga Warisan Ulama
Dengan demikian, tradisi Rebowekasan dapat dipahami sebagai amaliyah kultural yang tumbuh di masyarakat Muslim Jawa, bukan sebagai ajaran syariat yang bersandar pada dalil khusus. Ia lebih merupakan bentuk tawassulan dan doa kolektif, sebuah ikhtiar spiritual yang diwariskan ulama pesantren agar umat senantiasa dekat dengan Allah serta memohon perlindungan-Nya.
Di Ponpes Asshomadiyah, amaliyah ini menjadi bukti bagaimana pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menjaga kesinambungan warisan spiritual ulama, yang memperkuat ikatan santri, keluarga, dan masyarakat sekitar.
Redaksi